IqbalShofwan

Les etude sur relation international me fait fou. Je m'appelle Iqbal Shoffan Shofwan, je suis ne 18 d'octobre 1978 au Payakumbuh - Sumatera Oest - Indonesie. J'ai fini mon ecole a Pascasarjana Hubungan International Universite Gadjah Mada de Yogyakarta au 2006.

Monday, July 10, 2006


Rèsumé par Iqbal SHOFWAN

PEMBUATAN DAN RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL SERTA PERMASALAHANNYA.[1]

Pengantar
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiaplan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari 26 Maret s/d 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum internasional positif. Sampai akhir tahun 2000, sudah 95 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi tersebut, namun ketenutan-ketentuan yang terdapat di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman dalam membuat perjanjian-perjanjian internasional dengan negara-negara lain.

Aplikasi di Indonesia
Di Indonesia, hal yang melandasi tentang pembuatan dan ratifikasi perjanjian adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Jika kita lihat lebih lanjut, 10 s/d 15 UUD 1945, disebutkan bahwa kekuasaan Presiden sebagai konsekwensi dari kepala negara. Artinya bahwa tugas tersebut merupakan hak prerogratif dari Presiden, yang berarti pula tugas yang melekat pada Presiden sebagai Kepala Negara yang bukan merupakan tugas Pemerintah.

Sampai akhir tahun 2000 pasal 11 UUD 1945 ini belum dijabarkan dalam bentuk undang-undang dan satu-satunya penjelasan dari pasal 11 tersebut adalah Surat Presiden 2826/HK/60, tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua DPR, tentang pembuatan perjanjian dengan negara-negara lain.

Surat Presiden ini memberikan penafsiran bahwa ada dua macam bentuk perjanjian yaitu traktat dan agreements. Jadi ada dua cara pengesahan dari perjanjian-perjanjian tersebut:

(1) Traktat, pengesahannya melalui DPR dengan Undang-Undang
(2) Persetujuan (Agreements), pengesahannya dengan Keputusan Presiden dan
DPR hanya cukup diberitahukan oleh Sekretariat Kabinet.

Oleh karena itu, Pemerintah hanya akan menyampaikan ke DPR perjanjian-perjanjian yang terpenting saja dalam bentuk treaty untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan oleh Presiden. Perjanjian-perjanjian ini biasanya mengandung materi :
1. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian perwsekutuan (aliansi), perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas]
2. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman keuangan.
3. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar harus diatur dengan Undang-undang seperti soal-soal Kehakiman

Hal ini berdampak pada, bila pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk mensahkan perjanjian melalui UU dan mensahkan persetujuan melalui Keppres sesuai dengan Surat Presiden 2826 tersebut, dalam pelaksanaannya Pemernitah akan mensahkan semua persetujuan hanya dengan Keppres dan bukan dengan UU seperti yang sering terjadi. Keseragaman di bidang ini juga diperlukan untuk menghindari kebingungan para pejabat yang bertugas di bidang ­­­­­­­treaty-making process.

Pada era Orde Baru, praktek yang terjadi adalah semua perjanjian keuangan yang dibuat yang berjumlah puluhan milyar dollar tidak pernah diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Keadaan ini melanggar ketentuan yang terdapat dalam Surat Presiden 2826 dan yang mendapat kritikan tajam dan kecaman pedas anggota DPR terhadap pemerintah pada waktu diajukannya RUU tentang Perjanjian Internasional pada bulan Mei 2000

Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional
Untuk mendapatkan kepastian hukum dan mencegah terulangnya penyelewengan dalam pembuatan perjanjian internasional, maka perlu kiranya untuk membuat suatu undang-undang perjanjian internasional. Setelah melalui pembahasan yang intensif mulai tanggal 4 Mei 2000 akhirnya melalui Rapat Paripurna DPR-RI menyetujui RUU tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 30 Agustus 2000.

Sistematika pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang tidak mengalami perubahan dan sama seperti yang diajukan oleh Pemerintah, yaitu Bab I (ketentuan Umum), Bab II (Pembuatan Perjanjian Internasional), Bab III (Pengesahan Perjanjian), Bab IV (Pemberlakuan Perjanjian Internasional), Bab V (Penyimpanan Perjanjian Internasional), Bab VI (Pengahiran Perjanjian Internasional), Bab VII (Ketentuan Peralihan), Bab VIII (Ketentuan Penutup).

Dijelaskan pula bahwa pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang

Sebaliknya, pengesahan perjanjian-perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional di atas, dilakukan dengan Keputusan Presiden (pasal 11) dan salinannya disampakan kepada DPR untuk dievaluasi. Jenis-jenis perjanjian yang pengesahannya melalui Keputusan Presiden pada umumnya memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam jangka waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis lainnya.

Selanjutnya disamping perjanjian-perjanjian yang disahkan dengan undang-undang atau Keppres, Indonesia juga dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan. Pasal 15 ini menyangkut instrumen-instrumen hukum yang kurang formal seperti MoU, agreed minutes, exchange of notes or letters dan lainnya.



[1] Dr. Boer Mauna, Disampaikan pada Seminar Kajian Teoritis dan Implementasi Terhadap Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Padang, 1 Juli 2006

Wednesday, June 14, 2006


ASEAN : Paradigma Baru

Berakhirnya Perang Dingin membawa dampak yang signifikan bagi ASEAN. ASEAN yang dulunya merupakan sebuah perhimpunan kerjasama yang bersifat low politics antar bangsa dikawasan Asia Tenggara, kini dengan alasan relevansi tuntutan jaman, “terpaksa” harus mengubah level kerjasama kearah high politics. Namun, ironisnya kesadaran ini datang setelah satu dekade Perang Dingin berakhir dalam konstelasi hubungan internasional. Dimana terungkap pada Bali Concord II pada tahun 2003 yang merupakan tonggak baru sejarah ASEAN. Dikatakan sebagai tonggak sejarah baru ASEAN karena melalui Bali Concord II tahun 2003 itu, ASEAN sepakat untuk mengubah ASEAN dari asosiasi perhimpunan negara-negara di Asia Tenggara menjadi Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2020. Untuk merealisasi Komunitas ASEAN tersebut, negara-negara ASEAN sepakat mewujudkannya melalui peningkatan kerjasama tiga pilar yaitu: Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community – ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community –AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). [1] Inilah yang kemudian kita sebut sebagai paradigma baru ASEAN.

Signifikansi Paradigma Baru

Paradigma Baru ASEAN, sebagaimana telah dikatakan di atas, mulai menapaki bidang kerjasama baru, yaitu bidang keamanan, yang bersifat high politics. Bidang kerjasama ini merupakan bidang yang sangat asing jika dibandingkan dengan pola-pola yang selama ini pernah diimplementasikan dalam ASEAN. Oleh karena itu sebelum mulai memikirkan bagaimana mekanisme paradigma baru ASEAN maka lebih baik kita juga harus tahu mengenai mengapa ada paradigma baru.

Signifikansi dari paradigma baru ASEAN tidak lepas dari perkembangan hubungan internasional pasca Perang Dingin. Dalam menjelaskan ini saya akan menggunakan perspektif outside looking in, e.g neo realis, neo liberal dan teori sistem. Artinya, perilaku negara-negara ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam dunia internasional. hal ini berbeda dengan perspektif inside looking out, e.g realis dan liberal, dimana perilaku negaralah yang (dapat) menentukan dunia internasional. Dalam kasus ASEAN, tuntutan untuk mengubah paradigma ASEAN terjadi karena desakan internasional yang dalam hal ini ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin (keamanan) dan tuntutan dari neo liberalisme (ekonomi).

Faktor Keamanan. Munculnya United States (US) sebagai pemenang dalam Perang Dingin telah mengubah bentuk tatanan dunia internasional dari bipolar menjadi unipolar. Dimana hanya tendapat satu superpower yang eksis dalam anarkisme internasional. Hal ini membuat negara-negara lain, apalagi negara-negara yang tidak beraliansi dengan US selama Perang Dingin berlangsung, merasa perlu untuk menghadirkan/menciptakan kekuatan lain yang berfungsi sebagai balanceur untuk menandingi atau setidaknya merupakan mitra wicara yang memiliki bergaining position yang kurang lebih sepadan dengan US.

Unilateralisme US kemudian memunculkan kekuatan-kekuatan baru yang berfungsi sebagai counter hegemony US. Hal ini dapat dilihat dari progresifitas Uni Eropa dan kamajuan yang agresif dan mencengangkan, baik secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan oleh Cina. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan momen yang sedang terjadi, ASEAN juga berupaya melakukan upaya-upaya yang progresif untuk menyepadankan sesuai dengan kebutuhan dalam hubungan internasional. Maka dari itu perubahan paradigma ASEAN merupakan keharusan yang, seharusnya, tidak diperdebatkan lagi.

Faktor Ekonomi. Kapitalisme kemudian menuntut terbentuknya neo liberalisme. Neo-liberalisme berasusmi pada konsep klasik ekonomi liberal laissez faire yang dilaksanakan lebih radikal. Neo liberalisme memimpikan terbentuknya rezim perdagangan bebas dimana ia mengeleminasi hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota dari intervensi negara. Artinya membiarkan keseluruhan prosesnya pada mekanisme pasar.

Desakan dari neo liberal ini mempengaruhi terbentuknya paradigma baru ASEAN. Dimana, sejak tahun 1993, ASEAN mencanangkan program ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA dibentuk untuk meningkatkan daya tarik ASEAN sebagai basis proses produksi dengan adanya pengembangan suatu pasar regional. AFTA akan dicapai dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan berupa tarif maupun hambatan-hambatan non tarif dalam waktu 15 tahun terhitung 1 Januari 1993 dengan menggunakan Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya.[2] Hal ini menunjukkan keseriusan negara-negara Asia Tenggara dalam menyambut sebuah era perdagangan baru.

What’s Next ?

Uraian diatas hendaknya memberikan pemahaman yang mendesar tentang apa sebenarnya yang terjadi disekitar kita saat ini. Sehingga dapat membangkitkan awareness kita sebagai bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk lebih siap menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang. Upaya ini sangat penting, karena ini bukan semata-mata tugas yang diemban negara untuk melaksanakan program-program ASEAN. Karena apa yang telah/akan dilakukan oleh negara semuanya tertuju dan diabdikan demi kepentingan nasional. Sebagai warga negara, kitalah yang merupakan prioritas utama kepentingan nasional. Hal yang patut diingat ialah, banyak manusia yang tidak sadar mengapa harus bernegara. Bernegara merupakan suatu kontrak sosial, dimana negara merupakan lembaga yang kita tunjuk untuk melaksanakan dan mengatur tugas-tugasnya demi terciptanya order.

Jika rakyat memahami apa itu ASEAN, maka interaksi positif antara pemerintah sebagai penyelenggara dan rakyat sebagai obyek pasti akan terjadi. Memang kita tentu tidak dapat menutup mata dengan pihak-pihak yang kontra, namun hendaknya negasi maupun kontradiksi yang tercipta hendaknya dijadikan “lecutan” untuk menuju progresifitas.





















Ecriré par Iqbal Shofwan






[1] Direktorat Jendral kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI, Prospek dan Tantangan ASEAN Security Community, Kuliah Umum Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI, Depok, 8 september 2004.
[2] http://www.deplu.go.id/?hotnews_id=265

Tuesday, June 13, 2006

ASEAN : Paradigma Baru

Berakhirnya Perang Dingin membawa dampak yang signifikan bagi ASEAN. ASEAN yang dulunya merupakan sebuah perhimpunan kerjasama yang bersifat low politics antar bangsa dikawasan Asia Tenggara, kini dengan alasan relevansi tuntutan jaman, “terpaksa” harus mengubah level kerjasama kearah high politics. Namun, ironisnya kesadaran ini datang setelah satu dekade Perang Dingin berakhir dalam konstelasi hubungan internasional. Dimana terungkap pada Bali Concord II pada tahun 2003 yang merupakan tonggak baru sejarah ASEAN. Dikatakan sebagai tonggak sejarah baru ASEAN karena melalui Bali Concord II tahun 2003 itu, ASEAN sepakat untuk mengubah ASEAN dari asosiasi perhimpunan negara-negara di Asia Tenggara menjadi Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang ditargetkan dapat dicapai pada tahun 2020. Untuk merealisasi Komunitas ASEAN tersebut, negara-negara ASEAN sepakat mewujudkannya melalui peningkatan kerjasama tiga pilar yaitu: Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community – ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community –AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). [1] Inilah yang kemudian kita sebut sebagai paradigma baru ASEAN.

Signifikansi Paradigma Baru

Paradigma Baru ASEAN, sebagaimana telah dikatakan di atas, mulai menapaki bidang kerjasama baru, yaitu bidang keamanan, yang bersifat high politics. Bidang kerjasama ini merupakan bidang yang sangat asing jika dibandingkan dengan pola-pola yang selama ini pernah diimplementasikan dalam ASEAN. Oleh karena itu sebelum mulai memikirkan bagaimana mekanisme paradigma baru ASEAN maka lebih baik kita juga harus tahu mengenai mengapa ada paradigma baru.

Signifikansi dari paradigma baru ASEAN tidak lepas dari perkembangan hubungan internasional pasca Perang Dingin. Dalam menjelaskan ini saya akan menggunakan perspektif outside looking in, e.g neo realis, neo liberal dan teori sistem. Artinya, perilaku negara-negara ditentukan oleh apa yang terjadi di dalam dunia internasional. hal ini berbeda dengan perspektif inside looking out, e.g realis dan liberal, dimana perilaku negaralah yang (dapat) menentukan dunia internasional. Dalam kasus ASEAN, tuntutan untuk mengubah paradigma ASEAN terjadi karena desakan internasional yang dalam hal ini ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin (keamanan) dan tuntutan dari neo liberalisme (ekonomi).

Faktor Keamanan. Munculnya United States (US) sebagai pemenang dalam Perang Dingin telah mengubah bentuk tatanan dunia internasional dari bipolar menjadi unipolar. Dimana hanya tendapat satu superpower yang eksis dalam anarkisme internasional. Hal ini membuat negara-negara lain, apalagi negara-negara yang tidak beraliansi dengan US selama Perang Dingin berlangsung, merasa perlu untuk menghadirkan/menciptakan kekuatan lain yang berfungsi sebagai balanceur untuk menandingi atau setidaknya merupakan mitra wicara yang memiliki bergaining position yang kurang lebih sepadan dengan US.

Unilateralisme US kemudian memunculkan kekuatan-kekuatan baru yang berfungsi sebagai counter hegemony US. Hal ini dapat dilihat dari progresifitas Uni Eropa dan kamajuan yang agresif dan mencengangkan, baik secara ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan oleh Cina. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan momen yang sedang terjadi, ASEAN juga berupaya melakukan upaya-upaya yang progresif untuk menyepadankan sesuai dengan kebutuhan dalam hubungan internasional. Maka dari itu perubahan paradigma ASEAN merupakan keharusan yang, seharusnya, tidak diperdebatkan lagi.

Faktor Ekonomi. Kapitalisme kemudian menuntut terbentuknya neo liberalisme. Neo-liberalisme berasusmi pada konsep klasik ekonomi liberal laissez faire yang dilaksanakan lebih radikal. Neo liberalisme memimpikan terbentuknya rezim perdagangan bebas dimana ia mengeleminasi hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota dari intervensi negara. Artinya membiarkan keseluruhan prosesnya pada mekanisme pasar.

Desakan dari neo liberal ini mempengaruhi terbentuknya paradigma baru ASEAN. Dimana, sejak tahun 1993, ASEAN mencanangkan program ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA dibentuk untuk meningkatkan daya tarik ASEAN sebagai basis proses produksi dengan adanya pengembangan suatu pasar regional. AFTA akan dicapai dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan berupa tarif maupun hambatan-hambatan non tarif dalam waktu 15 tahun terhitung 1 Januari 1993 dengan menggunakan Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) sebagai mekanisme utamanya.[2] Hal ini menunjukkan keseriusan negara-negara Asia Tenggara dalam menyambut sebuah era perdagangan baru.

What’s Next ?

Uraian diatas hendaknya memberikan pemahaman yang mendesar tentang apa sebenarnya yang terjadi disekitar kita saat ini. Sehingga dapat membangkitkan awareness kita sebagai bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk lebih siap menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang. Upaya ini sangat penting, karena ini bukan semata-mata tugas yang diemban negara untuk melaksanakan program-program ASEAN. Karena apa yang telah/akan dilakukan oleh negara semuanya tertuju dan diabdikan demi kepentingan nasional. Sebagai warga negara, kitalah yang merupakan prioritas utama kepentingan nasional. Hal yang patut diingat ialah, banyak manusia yang tidak sadar mengapa harus bernegara. Bernegara merupakan suatu kontrak sosial, dimana negara merupakan lembaga yang kita tunjuk untuk melaksanakan dan mengatur tugas-tugasnya demi terciptanya order.

Jika rakyat memahami apa itu ASEAN, maka interaksi positif antara pemerintah sebagai penyelenggara dan rakyat sebagai obyek pasti akan terjadi. Memang kita tentu tidak dapat menutup mata dengan pihak-pihak yang kontra, namun hendaknya negasi maupun kontradiksi yang tercipta hendaknya dijadikan “lecutan” untuk menuju progresifitas.













Ecriré par Iqbal Shofwan






[1] Direktorat Jendral kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI, Prospek dan Tantangan ASEAN Security Community, Kuliah Umum Mahasiswa Pascasarjana FISIP UI, Depok, 8 september 2004.
[2] http://www.deplu.go.id/?hotnews_id=265